Friday 26 December 2008

Suatu petang di Stasiun Kota

Alhamdulillah, sampai juga di Stasiun kota, Jakarta. Berarti sudah tiga pere empat perjalanan yang kutempuh. kereta yang kutumpangi berhenti di jalur dua pemberhentian bis. Uff…hh!! jakarta yang panas, sepanas orang-orang yang mengerubutiku.
“Perlu tenaga, Mbak?” seorang penyedia jasa angkutan barang menawarkan bantuan. Aku tolak dengan sopan sambil tersenyum. Aku tak ingin penolakanku menimbulkan reaksi yang tidak menyenangkan darinya. Ah, Jakarta tak pernah berubah. Satasiun kota tak pernah sepi dari manusia. Seperti bayangan ku selama ini, saat aku melihatnya di layar kaca.

Kupercepat langkah kakiku untuk menghindari buruan para calo yang mencari penumpang. Sekaligus memperkecil resiko kecopetan. Kabarnya Stasiun kereta api terakhir di Jakarta timur ini menjadi sarang para pencopet. Ya, maklum. Inilah Jakarta. Penduduknya padat, lapangan pekerjaan sempit. Sebagian orang akan melakukan apapun untuk bisa bertahan hidup.

Setelah antri sebentar akhirnya tiba juga giliranku untuk membayar wartel.handphone ku batreinya tidak bias kerja sama. Mungkin dia merasa lelah, karena selama 20 jam lebih aku mengajaknya senda gurau tanpa henti. Kuangsurkan recehan perak kepada penjaga wartel itu. Setelah menerima fakturnya, aku bergegas memburu diantara arus manusia menuju ruang tunggu. Suasana ruang tunggu tak kalah bising. Langkah tergesa kaki manusia dengan membawa tas-tas besar saling berebut untuk mendahului. Apalagi ditambah suara manusia mencari uang, menjajahkan daganganya, yang saling sahut-menyahut.
Jam di tengah ruang tunggu menunjuk angka 17.15 Berarti kemungkinan sampai di Salemba jam 18.15. Masih bisa untuk menjamak sholat. Aku memang tidak terbiasa sholat di tempat umum, apalagi stasiun seperti ini. Selain musholanya jauh aku juga tidak berani sendirian. Entahlah, mungkin karena dari kecil aku tidak pernah pergi sendirian. Maklum, walaupun aku anak sulung, aku adalah anak manja yang beranjak dewasa.
“Assalamu’alaikum.” Sebuah salam terdengar nyaring disela-sela tiupan pluit masinis kereta yang terus bersahutan. Tak kuhiraukan suara itu, karena aku yakin tidak ditujukan untukku. Aku masih terus berjalan menuju tempat keluar stasiun. Aku harus cepat agar bisa tidak bertemu dengan calo-calo itu. Bukannya karena aku sombung, aku sangat memahami kondisi mereka. Alas an mereka melakukan hal seperti ini,. Berdesak-desakkan mencari perhatian pengujung stasiun agar mendapatkan upah. Namun, aku merasa takut karena mereka seperti orang kalap.
“Assalamu’alaikum.” Siapa, sih. Aku mulai penasaran. Aku semakin kaget ketika sebuah tangan menarik lenganku.
“Assalamu’alaikum” Untuk kesekian kalinya ia mengucap salam. Sangat sopan.
“Wa’alaikumsalam” Agak gugup aku menjawab salamnya.
“Ukh, dari tadi aye panggil elu sejak membayar wartel. Kok nggak menjawab.” Aku hanya tersenyum. Tersenyum lantaran bertanya-tanya. Siapa makluk tuhan berparas ganteng ini.
“Maaf, mas. Soalnya ………. Saya kira Mas bukan memanggil saya.” Aku masih belum mengerti siapa laki-laki di depanku ini. Kuteliti dengan seksama, jangan-jangan aku pernah bertemu tapi lupa. Topi hijau lumut, bermotif polos namun elegan, lengkap dengan kaos putih dan celana jins nya. Anehnya ia tidak membawa apa-apa. Memoriku buntu. Aku memang belum pernah melihat dia sebelumnya.
“Putri, Ukh bisa duduk sebentar.” Pintanya menyadarkan lamunanku. Kami pun mencari kursi yang agak kosong. Meskipun sulit akhirnya dapat juga. Kalau semula aku hanya pasif, kini aku yang duluan bertanya.
“Maaf, Mas ini siapa, ya. Sepertinya baru sekarang kita bertemu.” Kupanggil dia Mas karena dari wajahnya aku yakin ia lebih tua dariku.
Bibirnya tersenyum sebelum menjawab. “Aye Irfan kalu Lu putri kan?”
“iya.” Jawabku singkat.
“Begini, ehm…” Ia tampak kebingungan. Aku masih diam menunggu sambil sesekali memperhatikan jam dinding di tengah ruang tunggu. Apa sih maunya.
“Aduh, aye jadi nggak enak.” Kebingungannya semakin kentara. “Sebenarnya aye disuruh temen lu, emm temen aye juga sih. Sungkono. Buat jemput elu..” Ucapnya dengan nada tertatih.
“ooooo…” Aku mencoba memahaminya.

“yuk, pulang. Sungkono udeh nugguin elu dari tadi,”katanya seraya menggandeng tangan kananku. aku kaget dan tersipu malu. Sontak saat ia menggandengku, aku melepasnya. Dia pun dengan santai menjawabnya. “aye takut lu kenapa-kenapa?!,”bantahnya.
Orang di sekitar lagi memperhatikan kami. Namun, semuanya kembali sibuk dengan urusan masing-masing. “ternyata temennya pemalu juga ya. Padahal sungkono cerita kalau elu rame banget, mungkin belum kenal kali yach “Dengan tawa hambar ia mengakhiri ceritanya.
Aku mulai mengerti kalau sebenarnya laki-laki berwajah dingin ini, ternyata ramai juga. Tapi sampai ceritanya usai aku belum berinisiatif untuk menawarkan pertanyaan, atau sekedar tersenyum manis untuknya. Kulihat lagi jam dinding. Aku masih bingung antara percaya atau tidak dengan hal ini. Logikaku mengatakan agar waspada. Ini adalah Jakarta. Semua modus penipuan bisa saja terjadi. Ah, waktuku semakin pendek.
Kuinggat-ingat uang yang aku bawa saat ini. Aku hanya membawa uang pas-pasan. Meskipun masih ada di ATM, tapi semua telah kuanggarkan untuk membeli Laptop baru.
Untuk kesekian kalinya kutatap wajah putihnya yang ada di depanku. Kucoba mencari kebenaran di sana. Ya Allah kalau dia benar-benar orang baik pasti aku akan sangat berdosa. Tapi kalau ternyata dia menipuku? Tak tahulah. Aku masih bingung. Apalagi jam di dinding terus bergerak. Sekilas aku teringat temanku yang pernah kehabisan ongkos saat menempuh perjalanan Surabaya – Jakarta. Uangnya tinggal 200 perak. Untunglah ada orang yang bersedia menolong.
“Putri. Kalau boleh aye minta diongkosi untuk pulang salemba ya, aye lupa kagak bawa duit.” Aku tidak kaget dengan ucapannya karena dari awal aku sudah menduga. “aku hanya mengagguk tak tahu apa yang mesti aku tuturkan padanya,”.Ya Allah, jawaban apa yang harus kuberikan? Antara rasa takut mendzolimi orang yang baik dan khawatir tertipu bercampur menjadi satu. Terus terang, yang membuatku heran adalah sikapnya yang mudah meminta kepada orang yang belum kenal. Terdesak apapun, seorang akhwat tidak akan mudah meminta. Maksimal ia akan meminjam, bukan meminta. Tapi bisa jadi dia benar-benar terpaksa melakukannya. Setelah agak lama, kuberanikan bertanya tentang tujuannya.
“Rumah mas Irfan dimana?” Bagaimanapun aku harus segera mengambil keputusan.
“kebayoran.”
“jakartamana?”. Mulai basi setiap kata yang keluar dari bibirnya.ya pastilah ia di Jakarta.
“Aye di jalan kebayoran nomor 120.”

Kami menyusuri jalanan ibu kota dengan taksi bermerk star taksi.
Kugeser tasku agar lebih dekat. petang ini Jakarta tampak begitu lengang, sehingga jalanan pun tampak sepi. Ughhhfff…akhirnya aku sampai juga di salemba. Aku masih harus menunggu temanku yang masih ke warung. Irfa duduk di bangku yang sederet denganku. Aku hanya melihatnya sekilas, selanjutnya aku teruskan melihat Hp ku yang sudah tak bias hidup lagi.
“Assalamu’alaikum.” Sebuah suara menghentikan aktifitasku. Reflek mataku menoleh ke sumber suara tadi. Deg!! Jantung serasa berhenti berdetak. Kutatap lekat wajah di depanku. Dia adalah laki-laki yang pernah mengisi diari kehidupanku. Ternyata aku bertemu lagi dengannya di sini. Sepertinya ibu kota tak seluas pikiranku. Tapi kenapa dia seperti tidak mengenaliku? Apa karena terlalu banyak perubahan? Atau karena rambutku yang agak berubah akibat bertambah panjang?
“Wa..alaikum salam.” Kuatur nafasku agar tetap tenang. Otakku segera berpikir keras untuk menyusun strategi dalam menghadapinya. “eh kamu?? Duduk.” Ajakku ramah. Setelah suasana agak cair, mulailah orang yang bernama Adit itu bercerita. Persis yang pernah dia ceritakan setahun lalu. Benar-benar tidak kreatif, pikirku.
“Dit.” Sambungku setelah ceritanya selesai. “kamu lupa dengan saya?” Kutatap wajahnya tajam. “setahun yang lalu kita pernah ada memori kan?” Kulihat ekspresi wajahnya yang langsung berubah bias. “Dan kamu juga mengarang cerita yang sama. Maskudnya apa?!” Aku semakin mendesaknya karena merasa berada di posisi yang menang. Ia hanya diam membisu. “Dengarya dit. Gara-gara perbuatan kamu, hubungan ku dengan nana ga baik. Kamu ga Kasihan.

Aku hampir melanjutkan kalimatku ketika terdengar suara yang cukup jelas di telingaku.
“Putri!! ..” Nafasku berhenti seketika saat laki-laki yang di sebelahku telah mendekat dengan sebuah tisu lembut. Aku mendelik karena tidak menyangka kalau irfan memberikan perhatian saat itu. Aku tidak mengenalnya. Tapi dia langsung respect dneganku. Apa gara-gara dia hutang uang di taksi itu.
Dia memelukku erat, dan mengatakan kepada adit, lebih tepatnya Aditya, mantan pacarku yang telah banyak membohongiku. “oo..jadi kamu kenal dia ya say???,”Tanya nya padaku. Sontak aku semakin bingung dengan situasi yang ada. “dit, dia bokin aye. Putrid namanya. Manis kan,”ungkapnya lagi. Anehnya kau tak berkutik saat ia memegang tanganku. Mungkin dia menjadi penyelamat agar aku bisa tersenyum manis dengan Adit , walaupun dengan beban dada yang sesak akibat masa lalu dengannya.
Setidaknya aku tak marah dan merasa ada sedikit keberuntungan saat iefan memelukku. Ya, aku merasa menjadi pemenang dalam pertarungan rasa sakit hati dengan Aditya.

No comments: