Thursday, 10 April 2008

Segenggam Ketenangan

UHF!! Akhirnya sampai juga aku di kos. Kondisi lalu lintas yang entah kenapa siang tadi terlihat ruwet membuatku demikian penat. Tumben, Surabaya tidak pernah semacet itu. Memang, Surabaya tidak berbeda jauh dengan Jakarta. Tetapi jalur lalu lintas ke arah kosku tidak pernah sepadat tadi. Ruwet, tidak karuan.pokoknya berantakan banget.
Sepi menyapaku. Jam di dinding menunjukkan pukul setengah tujuh. Hampir isya'. sunyi sekali suasana kost, Entah semua ke mana. Perlahan kubuka pintu kamar. Sebuah amplop tergeletak begitu saja di bawah pintu. Sebuah tanda tanya merasuk ke dalam pikiranku. Kubolak-balik tidak ada nama dan alamat pengirim hanya alamat tujuan menunjukkan kalau surat itu benar-benar untukku.kaget juga, tapi tak apalah, yang ada dipikiranku, mungkin dari keluarga di Yogyakarta. tapi tidak mungkin, karena baru seminggu yang lalu, waktu dan keadaan memaksa ku pulang kampung. si bungsu merayakan ulang tahunnya.
Tambah seringnya kupandangi amplop itu, perasaan ini semakin kacau. yach, was-was kalau burung-burung yang suka menggosip itu kumat lagi penyakitnya. Setengah tergesa, pintu kamar kusorong.
kamar kost yang sempit, terasa semakin sempit kala itu, karena bau apek. itu semua karena seharian aku lupa menyemprotnya dengan pewangi. tapi aku tidak akan menyalahkan otakku yang pelupa. melainkan karena uang gaji belum turun. rasanya tambah dada ini tambah sesak, kalau ingat-ingat belum gajian. ujung-ujungnya semua masalah, sengaja aku kaitkan dengan ulah perusahaanku.
sengaja aku taruh dulu amplop itu. aku letakkan di atas radio mungil, yang baru saja dua minggu lalu aku beli. Lelah dan capek yang mendampingiku sejak perjalanan pulang tadi, belum juga puas untuk pergi dari badanku. aku selonjorkan kaki dan aku rebahkan tubuh ini untuk sesaat. mencoba memejamkan mata, sambil sesekali mengingat kejadian di kantor. tiba-tiba saja aku langsung bangun dan tersadar kalau aku sedang emosi. tersadar pula kalau beruang maduku sudah terlempar jauh dibawah kolong tempat tidur. kejadian panas di kantor tadi siang membuat rasa emosi ini kambuh lagi. tapi, saat itu aku mencoba untuk tidak mengingatnya kembali. karena hanya membuat sakit hati.
Entah kenapa, pandangan langsung tertuju pada tamu baru yang hampir terlupakan. aku ambil amplop itu dan perlahan ku robek lem yang merekat pada sisi-sisinya. Tulisan tangan dalam surat itu membuat jantungku nyaris berhenti berdetak. Gilang! Pelan kueja nama itu dalam hati. Tahu dari mana ia alamat kosku. Gilang. Sekali lagi kueja nama itu dengan nada perlahan.
Dear : Eta
Apa kabar, Ta? Kau tentu kaget menerima surat ini. Berapa tahun ya kita tidak bertemu? Tentu kamu berubah sekarang ya. Kudengar kamu jadi seorang wartawan. Wah, wah, singa poGilangum sekolah kita ini tentu semakin cerdas. Ha ha ha….
Ah. Sejenak aku berhenti membaca surat itu. Kurasa Gilang ada di depanku sekarang. Ingatanku terlayang masa menjaGilang siswa SMA dulu. Kami satu tim dalam pembuatan naskah karya ilmiah di sekolah. Tetapi entah kenapa jika soal presentasi selalu saja diserahkan kepadaku. Tentu saja setelah kami berempat, aku, Gilang, Sari, dan FuaGilang mendiskusikan konsepnya. Ah kalau kuingat betapa indah kebersamaan itu. Ke sekolah bersama-sama, ke toko buku bersama, ke perpustakaan bersama, hingga ke kantin pun bersama. Kalau boleh aku katakan mungkin kebersamaan itu yang paling indah Gilang seluruh sekolah kami. Seluruh Sekolah , menganggap kami pasangan paling ideal. Sari dengan Gilang, sementara Fuadi dipasangkan dengan aku. Ah, ada-ada saja. Aku tersenyum sekilas. Segera kulanjutkan membaca surat Gilang.
Bagaimana pekerjaanmu sekarang, Rin? Tentu kamu sangat menikmatinya ya. Meski dunia jurnalistik itu banyak cowoknya, aku percaya kamu bisa survive. Sama sekali aku tidak akan meragukan kemampuanmu.
Aku sekarang memegang jabatan sebagai Kepala divisi SDM Gilang Airlines Ticket Jakarta. Dulu aku sempat jadi sales. Lalu dipercaya jadi Pengendali Promosi Pesawat. Sejak tahun lalu aku dipercaya mengendalikan SDM. Ya semoga saja aku bisa menjalankan amanah itu.
Ta, maafkan kalau aku mengganggumu. Aku bingung kepada siapa mesti bercerita. Tiba-tiba saja aku teringat padamu. Aku langsung saja menulis surat ini padamu. Ah, kamu kan sahabat terbaik yang pernah kumiliki, Ta. Kamu pasti bingung darimana aku dapat alamatmu. Iseng-iseng aku main ke sekolah kita meski ada niat untuk mencari Bu Inti, guru terbaik kita, untuk menanyakan alamatmu. Aku yakin kamu dan beliau tidak pernah putus hubungan. Syukurlah kami bertemu.
Sebenarnya Ta, aku ingin menyuratimu sejak enam bulan lalu. Tetapi, karena pekerjaanku menumpuk aku baru bisa menuliskannnya sekarang, meski selama itu pula aku mesti menahan bebanku. Suer, Ta, aku bingung sekali. Rasanya aku nggak sanggup lagi….
Aku berhenti sejenak. Ada apa denganmu, Gilang? Aku merasa Gilang adalah orang paling sabar, hebat, juga paling arif di antara kami. Kalau sampai kemudian kalimat semacam itu meluncur dari bibirnya tentu ada yang salah….. Ah, semoga saja perkiraanku salah.
Ta, sebenarnya aku sudah menikah sejak tiga tahun lalu. Ya, cuma berselang dua tahun setelah kita lulus sekolah SMA. Ups, jangan marah dulu. Aku sendiri tidak pernah mengerti kenapa pernikahan itu bisa terjadi. Ceritanya aku mengikuti tes kepegawaian di sebuah instansi pemerintah. Dan ia (yang kini menjadi istriku) menjadi salah satu pengujinya. Pada dasarnya ia adalah perempuan menyenangkan sekaligus hebat. Saat itu, tiba-tiba saja aku ingat padamu.
Selanjutnya, kami sering bertemu. Berdiskusi tentang banyak hal. Hingga suatu ketika ia memintaku untuk mengantarnya ke rumah orang tuanya. Sebagai teman, aku sama sekali tidak berkeberatan. Kebetulan sekali rumahnya ada di luar kota, dengan begitu aku harus menginap di rumahnya. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba saja di rumahnya ada banyak orang dan aku diminta untuk menikahinya. Alasan yang dikemukakan sederhana saja: karena aku telah berani menginap di rumahnya. Ah, betapa kaget aku saat itu. Tetapi, aku jadi ingat hasil penelitian kita dulu. Penelitian kita tentang kondisi sosial masyarakat yang tidak dapat menerima seorang laki-laki berkunjung ke rumah seorang perempuan apalagi jika laki-laki itu sampai menginap. Makanya aku berusaha menunjukkan rasa tanggung jawabku. Tanpa persiapan, aku pun menikahinya. Itulah sebabnya aku tidak mengundang siapa pun. Kamu, Fuadi, dan Sari. Meski aku tahu alamat Fuadi dan Sari karena kami masih sering berhubungan. Juga kamu tiba-tiba menghilang tanpa kabar berita.
Napasku tertahan sebentar. Sejurus kemudian kuhempaskan dengan sekuat-kuatnya. Kalau saja kamu tahu, Gilang, aku memang sengaja menghilangkan jejak. Aku ingin sendiri. Aku jenuh dengan sebuah hubungan yang melibatkan perasaan. Aku ingin semua hubungan yang ada itu biasa-biasa saja. Bahkan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Aku sudah jenuh dengan hubungan yang selalu saja bisa kutebak cerita akhirnya. Kebanyakan sad ending. Makanya aku tinggalkan kota tempat kita menimba ilmu itu. Sebab lainnya aku ingin mencoba diriku sendiri sejauh mana bisa survive di kota yang sama sekali asing buatku. Aku mengedikkan bahu sejurus kemudian kulanjutkan membaca surat.
Ta, selama hampir setengah tahun aku tidak pernah mengetahui seperti apa itu malam pertama. Sebab, istriku memiliki penyakit yang agak kronis. Asma, dan kanker payudara. Jadilah, aku mengurusinya selama itu. Suer, TA, aku tidak ingin menuntut apa-apa. Aku ikhlas melakukannya.
Ta, beberapa bulan ini, aku seperti orang kebingungan. Sehebat-hebatnya aku, tetap saja aku ini manusia biasa, Ta. Aku butuh keluarga yang hangat, yang menyenangkan. Tetapi, aku berusaha menerima apa yang saat ini memang telah ada di genggamanku. Berusaha bersikap layaknya suami kebanyakan yang selalu ingin menyenangkan istrinya. Tetapi, ia seperti tidak peduli. Cuek saja. Bahkan kini ia bekerja di dua perusahaan sekaligus. Jadilah kemudian ia sering pulang malam.
Ta, bagiku itu tidak masalah. Sejauh ia bisa mengukur kemampuannya. Seringkali ia lalu tiba-tiba jatuh sakit. Kalau sudah begitu, aku tidak mungkin meninggalkannya. Tetapi ia tidak pernah menganggapku. Sedih rasanya.
Untuk membunuh kesedihanku, hobi organisasiku di sekolah dulu kambuh lagi. Aku nggak mau lari ke tempat yang salah. Aku nggak ingin berkubang dalam kesedihan yang bisa membutakan mata sekaligus hatiku. Kini, aku memegang kendali di beberapa organisasi profesi. Segera saja aku enjoy dengan dunia yang memang selama ini kurindukan.
Ta, beberapa hari lalu kami bertengkar. Ia membuka ponselku dan memeriksanya. Sama juga dompetku. Ah, seolah-olah ia tidak percaya padaku. Mungkin karena aku masih capek, sementara mataku baru saja terpejam, dengan kasar, aku bilang apa dia tidak percaya padaku. Apa yang ingin dicarinya. Setelah itu kutinggalkan begitu saja. Sekilas, kulihat ia berkemas. Ah. Ego lelakiku muncul. Kubiarkan saja apa yang ingin dilakukannya. Terserah dia mau apa.
Ta, kamu boleh memakiku. Kamu boleh memarahiku. Jujur aku bingung sekarang. Kalau saja aku boleh memutar waktu, aku ingin kita bersama-sama lagi. Kita berempat Ta. Kita bisa saling bercerita.
Ah, Ta. Aku merasa sedikit lega sekarang. Aku tahu dan ingat betul ucapanmu kalau kita mesti siap menanggung konsekuensi (bukan resiko) tindakan kita. Sejujurnya, aku tidak ingin membebanimu tetapi hanya kamu yang kuyakin masih serius mau mendengarku. Fuadi sudah pusing dengan perusahaan keuangannya di Semarang. Sari sudah jadi cerpenis. Beberapa kali kulihat ia di televisi. Bintang mereka sedang bersinar aku tidak ingin meredupkannya. Sama sekali aku tidak ingin meredupkan nyala bintang yang saat ini berpijar di karirmu tetapi lebih karena aku percaya padamu, Rin.
Ta, aku pikir cukup dulu ya. Kalau memang satu waktu kamu tidak sibuk, bisa hubungi aku di 08156546903. Aku sengaja tidak menulis alamatku. Aku nggak ingin melibatkanmu terlalu jauh. Aku hanya ingin meminta pendapatmu.
Thanks before ya, Ta. Take care yourself!!!
Best regards,
Gilang
Pelan kututup surat Gilang. Aku sudah bisa memperkirakan jika suatu ketika ia menjadi orang sukses. Ketekunan dan kesabarannya tergolong di atas rata-rata termasuk di antara kami. Tetapi aku tidak menyangka, bahkan kaget usai membaca ceritanya. Begitu kompleks penderitaan yang ada di kehidupannya. Kini Tuhan tengah menguji kesabarannya. Ah, tiba-tiba saja aku merindukannya.
Usai membaca tulisan itu, aku tidak menyalahkan sikap Gilang. Meski juga tidak membenarkan sepenuhnya. Memang, tak sepantasnya ia memperlakukan istrinya seperti itu. Akan tetapi, aku juga paham karena sangat bisa jadi sikap itu adalah letupan dari kesedihan yang selama ini terpendam dalam sanubarinya.
Anganku melayang saat kami sekolah bersama. Penampilannya apa adanya tetapi selalu rapi. Kemeja lengan panjang digulung hingga tiga perempat, celana panjang lengkap dengan ikat pinggang. Tas ransel tidak pernah lepas dari punggungnya. Tidak berbeda jauh dengan aku dan Fuadi, meski kami tidak serapi Gilang. Sementara, Saria cukup feminin. Tubuh semampainya senantiasa terbalut blazer dan rok panjang. Berbeda dengan kami yang senantiasa memakai sepatu kets, Ayi, begitu kami memanggilnya, mengaku lebih suka memakai vantofel atau sepatu berhak lima centimeter.
—+++++—
Jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Kantor redaksi tempatku bekerja sudah ramai. Beberapa teman sesama reporter tampak kembali dari lapangan. Wajah lelah tidak memupus senyum di bibir mereka. Cangkir berisi kopi panas atau teh hangat ada di tangan.
Aku sudah duduk di depan komputerku sejak pukul tiga. Tetapi aku bingung memulai sebuah tulisan. Padahal beritaku cukup banyak hari ini. Di kampus tempatku bertugas ada Gubernur Jatim yang membuka lomba jalan sehat sehat dan kami menanyakan sikapnya tentang kasus TKW yang sempat menjadi tawanan Irak.
Block note hanya kubolak-balik dari tadi tanpa tahu harus memulai darimana. Sesekali kulemparkan pandanganku ke luar jendela. Persoalan Gilang masih mengganggu pikiranku. Sejauh ini aku belum bisa menentukan sikap. Bahkan, beberapa hari ini, aku susah tidur. Padahal aku tergolong orang yang gampang tidur terlebih dalam kondisi lelah.
Aku tersentak saat seseorang memegang pundakku. Saat menoleh, senyum Mas Andar, redaktur Ekonomi Bisnis menyambutku.
“Ada apa, Ta? Kulihat sejak tadi kamu termenung.”
Aku tersenyum seraya menggeleng.
“Ndak apa-apa kok, Mas. Saya hanya capek. Jenuh.”
Mas Andar tertawa sekilas.
“Ah. Yang kutahu itu alasanmu saja. Kamu sangat mencintai pekerjaan ini. Kamu sedang ada masalah ya? Kamu bertengkar dengan kekasihmu?”
Aku tergelak sumbang.
“Ada-ada saja, Mas. Kekasih yang mana lagi. Mas kan tahu sendiri saya lebih sering di kantor meskipun hari libur. Saya juga sering bantu halaman Mas meskipun saya reporter pendidikan.”
“Walah lha kok kamu malah sewot tho, Ta. Ya sudahlah. Yang terpenting, tanya pada dirimu sendiri kaitan sebuah persoalan dengan perasaanmu. Kalau sudah, ambil cuti barang dua hari. Tujuannya kalau memang kamu ingin sendiri ya ke luar kota. Kalau kamu merasa cukup kuat ya selesaikan persoalan itu. Yang ingin aku tegaskan, kamu itu aset penting perusahaan ini. Tulisanmu bagus. Sering mendapat pujian pembaca meski kamu tergolong reporter baru di media ini. Tetapi kudengar, kemarin Pak Kino marah-marah karena alur tulisanmu tidak karuan. Tidak biasanya kamu seperti itu kan. Pak Kino kan yang sering membanggakan tulisanmu. Aku tidak mau karirmu tergusur hanya karena persoalan sepele. Nah, sekarang coba kamu renungkan.”
Usai berkata-kata, Mas Andar melangkah ke luar. Tinggal aku sendiri merenung. Kupikir-pikir benar juga apa yang dikatakannya barusan. Ah, aku memang harus segera menuntaskannya. Aku tidak ingin langkahku terhambat. Secepat kilat, kuambil hasil wawancaraku dan segera menyusunnya. Setelah itu aku pamit. Kebetulan aku libur hari Sabtu besok.
—++++—
Hari masih pagi. Masih pukul setengah delapan. Semalam aku telah merenungkannya. Aku sudah berencana menghubungi Gilang hari ini. Aku akan katakan padanya kalau aku merindukannya. Aku ingin bertemu dengannya. Aku juga akan katakan kalau ia tidak sendiri. Ia masih memiliki aku yang siap kapan pun merengkuhnya. Menekuni setiap keluhannya. Mendengar cerita suksesnya. Merangkulnya. Memeluknya untuk membagi kesedihan. Akan kuserahkan waktu sesuai permintaannya. Kapan pun dia mau, aku akan dengan senang hati memberikannya. Aku akan senang melakukannya. Bukan untuk dan karena apa-apa. Tetapi lebih karena aku menyayanginya. Dia sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Sejak dulu, kemarin, sekarang, esok, lusa, dan selamanya. Ah, Gilang Sahabatku..tunggulah. Bersabarlah. Aku akan menjemputmu hari ini.

No comments: