Thursday, 10 April 2008

Pecel Semanggi, tak pernah Berhenti

Di seluruh pelosok kota Metropolitan siapa yang tak kenal dengan tanaman Semanggi, identitas semanggi cukup popular dibandingkan dengan nama tanaman lainnya. Sejatinya, nama semanggi selalu melekat dalam potret kehidupan masyarakat sehari-hari.
Entah sampai saat ini apakah masyarakat awam paham akan alasan diambilnya semanggi sebagai nama tempat, fasilitas kota, bahkan mengesahkan semanggi sebagai makanan khas kota Pahlawan. Padahal semanggi tumbuh liar di pinggir-pinggir sawah atau selokan, alias tidak hidup semestinya di tempat-tempat pertanian lengkap dengan rumah kacanya.
Semanggi sendiri adalah termasuk keluarga besar tumbuhan paku air (Hydropterides), yang di Indonesia mudah ditemukan di pematang sawah atau tepi saluran irigasi. Jika pada umumnya daun paku air berbetuk panjang, lain halnya dengan semanggi. Bentuk tumbuhan ini menyerupai payung tersusun atas tiga sampai empat anak daun yang saling bertatap muka. Nah, daun tumbuhan ini lah biasanya dijadikan makanan khas kota Surabaya yang dikenal sebagai pecel Semanggi.
Pecel Semanggi, dari judulnya saja kita bisa menebak bahwa di dalam makanan itu pasti terdapat rebusan daun semanggi. Daun-daun mungil ini dikukus setengah matang. Yang membedakan pecel semanggi dengan pecel madiun atau pecel-pecel yang menjamur di Surabaya adalah sausnya. Saus pecel semanggi bukan cuma terdiri dari kacang tanah dengan bumbu-bumbunya, tetapi juga ketela rambat yang direbus. Dan sebagai bumbu penyedap, sedikit dicampur dengan petis udang asli Sidoarjo. Seluruh bahan itu dilumat jadi satu, hingga menjadi saus yang benar-benar kental.
Untuk sayurannya tak hanya semanggi saja yang tampil sebagai primadona, tetapi juga terdiri dari beberapa jenis sayur seperti daun kecambah, kangkung, kembang turi, dan daun singkong. Setelah itu, kukusan sayuran itu diberi siraman saus kental beserta sambal sesuai dengan permintaan pembeli.
Rasanya, jelas nikmat dan sedap, apalagi kalau piringnya beralas daun pisang atau mempergunakan pincuk. Sentuhan lain pecel semanggi ini semakin terasa ketika gaya menyantapnya bukan dengan sendok, tetapi kerupuk puli yang dijadikan sendok. Tentunya, irama kriuk kerupuk puli ini menambah selera makan kita semakin nikmat.


Siap-siap di pagi buta
Penjual Semanggi umumnya adalah wanita tengah baya ke atas, digendong pada punggungnya dan dijajakan ke seluruh pelosok kota Surabaya. Konsumennya, dulunya, adalah masyarakat kelas bawah. Tetapi belakangan, pecel semanggi merambah tempat-tempat menengah atas. Di Surabaya, contohnya, pecel semanggi dapat ditemukan di pujasera Sinar Supermarket, Tunjungan Plasa, Food Court, Plasa Surabaya, Kedai By Iwake Food Court, atau di Semanggi Corner Surabaya Plaza Hotel, setiap hari. Selain tempat diatas, Biasanya Pecel semanggi ini dapat dijumpai di pinggir-pinggir jalan, maupun mangkal di sekolah-sekolah.
Pecel semanggi juga bisa ditemui saban siang di depan komplek Balai Pemuda Surabaya ataupun halaman sekitar Kodam Brawijaya Surabaya. Harga semanggi ini relatif terjangkau, dengan rasa yang nikmat. Tak perlu takut merogoh kocek dalam-dalam, Pecel semanggi yang dijual keliling harganya hanya Rp 2.500 per pincuk.
Selain sausnya yang beda, letak keunikan lainnya pada pecel semanggi ini adalah bakul pecel semanggi yang berasal dari jalan Sawo, Kendhung, dan Beringin yang terletak dalam satu desa yaitu desa Kandangan, Kecamatan Benowo, Surabaya.
Pada pagi yang masih memuda sekitar pukul 6 pagi para penjual berkumpul di perempatan Sendangbulu, mereka bersama-sama menunggu mikrolet yang setia mengantarkannya ke Kupang. Sesampai di Kupang , baru menyebar di pelosok-pelosok Surabaya, bahkan hingga Sidoarjo. Setelah dagangannya habis, barulah bakul-bakul ini pulang.
Umumnya penjual pecel semanggi ini sudah berpuluh-puluh tahun lamanya. Salah satunya adalah Tatik, seorang penjual pecel semanggi keliling asal Kendhung, mengatakan sudah 27 tahun jualan pecel semanggi. Untuk berjualan pecel semanggi tidaklah memerlukan modal besar. Daun-daun semanggi yang dijajakan dibelinya dari pedagang yang mengedrop langsung ke Desa Kandangan.
Seorang pedagang memerlukan semanggi mentah Rp 20 ribu untuk mendapatkan 10 takar ukuran wakul plastik semanggi mentah.Total modal keseluruhan yang dibutuhkan Rp 50 ribu, termasuk untuk sayuran lainnya, kerupuk puli dan ketela untuk sausnya.
Wanita berusia 42 tahun itu mengaku bisa mendapatkan uang sebesar Rp 125 ribu dari 50 pincuk pecel semanggi yang terjual, tentu saja keuntungan itu setara dengan pengorbanan yangvtidak gampang, karena harus jalan kaki berpuluh-puluh kilometer menyusuri Pandigiling dan Kampung Malang, demi mendapatkan pembeli "Dari dulu saya jualan pecel semanggi, Utnungnya lumayan. Alhamdulillah, dari jualan ini saya bisa menghidupi keluarga, " kata wanita yang logatnya berbau Madura ini.
Setiap hari ibu dari dua anak itu membeli daun mentah semanggi dari pedagang daun-daun semanggi yang datang ke Desa Kandangan. Mereka berasal dari Sepanjang. Umumnya pedagang semanggi memperoleh semanggi dari Krian, Mojokerto dan Gresik. Mereka memperoleh semanggi tidak mengenal musim.
Sedangkan di Surabaya sendiri sekarang sulit mencari tanaman semanggi. Maklum saja, lahan sawah di Surabaya hampir habis, tergantikan oleh bangunan. Areal yang dulu subur oleh semanggi, kini sudah menjadi gedung atau perumahan. Tanaman semanggi kian terdesak, terpinggirkan dan tinggallah namanya. Inilah yang dikatakan makanan khas Surabaya, namun sulit mencari bahan bakunya di Surabaya.

1 comment:

rossoneri said...

sip2...tulisannya...terus berkarya put...