fenomena ketidak kondusifan kehidupan sosial politik sekarang ini mungkin mendapat alasan yang sama dengan maksud dan arti yang dihadirkan pada pementasan Teater Lingkar yang mengangkat judul ‘ Kursi Rimba’.
Udara dingin yang berhembus dalam ruangan bersuhu 15 derajat celcius itu, Selasa malam (15/4), terhentak oleh suara yang mendengung dari talu-talu jimbe. Para pemain Teater yang berada dibawah naungan Stikosa-AWS ini, semuanya mengenakan balutan kain minimalis berwarna coklat gelap yang hanya membaluti bagian tubuh tertentu, terlihat begitu unik. Aneka goresan tinta hitam dan putih yang meliuk-liuk di wajah dan tubuh 13 pemain, cukup kuat menyimbolkan bahwa aktor-aktor itu adalah masyarakat primitif. Belum lagi dengan mengalunnya nada yang terangkai rancak diselingi bunyi-bunyian genderang serta, alunan lembut suara suling, membuat dinginnya ruangan seolah tak terasa lagi.
Dalam suguhannya, pementasan yang disutradari M.Afrizal ‘jijay’ Akbar ini membawa hasrat, keinginan, dan jiwa rakyat yang selalu terbujuk dan terpenjara dalam kepentingan para penguasa.
Nampak lima orang suku rimba mengenakan busana suku pedalaman dengan tongkatnya dalam hutan belantara yang tua dan sunyi. Di sekelilingnya terhampar ranting dan daun kering kecoklatan, akar pohon yang menggelantung panjang, serta tumpukan batu di sudut-sudut panggung.
Melalui jarak yang tidak terlalu luas mereka berkomunikasi menggunakan bahasa suku rimba. Begitu suasana awal babak-babak “kursi rimba” dimulai. Lewat pencahayaan remang-remang, suasana sengaja dilahirkan mencekam diiringi dentum genderang jimbe bertempo lambat.
Pada babak selanjutnya, tiga orang berpenampilan beringas, dengan rambut terurai seperti singa yang siap menerkam mangasanya. Rambut yang terurai dan berwarna biru, merah, serta hijau, menghadirkan simbol-simbol yang lekat dalam pemilihan calon pemimpin. Seperti simbol warna rambut mengisyaratkan ‘kendaraan’ yang akan membawa singa-singa itu menguasai kursi rimba belantara. Dengan suasana yang temaram oleh sorot merah lampu, melalui gerak cepat ketiga singa itu berpandangan dan berbicara melawan emosi, satu mengaum, berteriak, mengaum lagi, dan mengaum secara terus-menerus untuk memamerkan kekuatannya.
Hadir juga petuah rimba dengan balutan busana putih polos, yang selalu mengkritik akan pemimpin-pemimpin rimba yang selalu memberikan performa terbaik mereka untuk mencari perhatian suku rimba. Hingga akhirnya pada babak akhir, hanya singa kuat yang berhasil memenangkan hati suku rimba dan isi rimba belantara. Namun perebutan kekuasaan selamanya akan tetap ada, entah secara rasional, irasional maupun kontrasional.
Sedikitnya penonoton malam itu seolah tidak sadar ketika hujan tepuk tangan membahana dalam ruang lapang gedung kesenian Cak Durasim di akhir penampilan drama pementasan surealise itu.
Acara pementasan keliling pertama kali ini menggunakan naskah M.Afrizal yang dulu pernah sukses dipentaskan dalam acara Temu Teater Teman 5 di Malang, Mei 2007 lalu.
Drama pementasan keliling yang juga akan digarap di Solo dan Jogja ini, dikerjakan oleh 18 orang didalamnya, dalam kurun waktu persiapan dua bulan. Memang bukan waktu yang lama untuk standart pementasan akbar namun, usaha untuk berkreasi dan berekspresi untuk suatu apresiasi akan fenomena hidup patut dihargai. Sukses untuk Teater Lingkar.
Saturday, 3 May 2008
‘Kritikan’ Lewat Karya Seni
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment