JARUM jam dinding di kamarku hampir menyentuh angka tiga. Kantuk tak juga menghampiriku. Beberapa jam lalu, aku bertemu dengan Diana, sahabatku saat menjadi pelajar Sekolah Menengah Pertama dulu di Sidoarjo. Ia memang saat ini melanjutkan kuliah di Malang, tetapi sengaja menemuiku. Kaget juga saat aku menerima pesan singkatnya. Kutunggu kau di Delta 5. Aku nyampe sana ba’da Isya, insya Allah.
Delta 5 adalah tempat kami biasa berkumpul. Dulu, kami berlima di saat-saat tertentu. Aku, Diana, Kurniawan, Eko dan Febri. Lintas kegemaran justru menjadi perekat persahabatan kami. Setiap bertemu, kami berbagi cerita, bertukar tawa, mengurai duka tentang profesi masing-masing. Yah, beragam cerita karena memang kami berada dalam latar belakang hobi yang berbeda. Hanya Diana dan aku yang sama. Sesama penyuka dunia tulis-menulis. Menjadi penulis andal bagi Diana dan Jurnalis Olahraga bagi aku adalah impian kita masing-masing untuk masa depan.
Kurniawan calon gaet pariwisata handal sebuah perguruan tinggi papan atas di Surabaya. Febri, hmm, siapa tak kenal ia. Sebelum lulus SMP ia sudah melebarkan sayap terlebih dahulu di dunia kerja. Saat ini ia tidak melanjutkan kuliah, namun jabatan guru bahasa inggris di SMA faforit Malang ia pegang.
Sementara Eko menduduki jabatan perawat di sebuah rumah sakit ternama di Mojokerto, walaupun dengan catatan magang. Tapi satu-satu temanku yang salah kaprah ialah Diana. Dari awal hobinya menulis dan cita-citanya penulis handal. Tapi, Kabarnya setelah lulus SMA ia langsung kerja. Setahun kemudian, tercatat sebagai mahasiswi akuntansi di salah satu perguruan tinggi swasta Kota Malang.
------------------------******--------------------------
14 tahun telah berlalu.Aku memilih melanjutkan ilmuku di sekolah khusus wartawan. Dan memutuskan pula untuk jauh dari keluarga. Sudah satu tahun lebih aku ngekos. Karena profesiku yang sekaligus sudah 4 bulan kerja sebagai wartawati olahraga salah satu lembaga media milik pemerintah di Surabaya, intensitas bertemu dengan keluarga semakin lama semakin kurang. Apalagi bertemu dengan ke empat sahabat karibku itu. Hingga kemudian kami semua terpisahkan oleh bergulirnya waktu. Diana, dipindahkan perusahannya ke Malang dan otomatis Ia harus menetap di kota apel itu. Febri makin sibuk. Lalu Eko kabarnya naik jabatan menjadi karyawan tetap Rumah Sakit Swasta dan sudah dipindahkan di Nganjuk.
rasanya waktu ini cepat sekali, secepat gelindingan kalung kolosal. Tidak terasa 3 tahun 4 bulan aku belajar sebagai calon wartawan. Waktu yang aku lalui serasa begitu sangat cepat. rasanya sulit sekali meninggalkan masa-masa belajar dan bermain serta berkumpul dengan teman-teman kampus.
balutan topi hitam khas wisudawan menempel bangga dikepalaku. orang tua dan keluarga jauh-jauh datang dari Jakarta menyempatkan menyaksikan penyematan gelar sarjana sosial politik ku.
dasar palsu!!! dalam hatiku berkata, selama 3 tahun lebih lamanya aku sekolah ternyata penyematan gellar hanya didapatkan beberapa menit saja. rasanya tidak seimbang. tapi tak akan ku gubris lama-lama.
akhirnya akau bisa fokus dengan pekerjaanku tanpa harus memikirkan tugas kuliah dan teguran dosen. plong..
Itu hanya sekilas perjalan hidupku semasa menjadi pelajar. Hingga akhirnya aku bekerja tetap sebagai wartawan.
________________""""______________________
sudah 5 tahun lebih aku bekerja sebagai wartawan olah raga, capek juga tapi yang pasti aku tak akan bosan dengan profesiku sekarang.
Hingga kemudian sesuatu menghancurkan harapanku. Rasanya tak sanggup lagi. Tak ada yang lagi bisa kupertahankan di Surabaya ini. Maafkan. Akhirnya aku memilih pergi, Diana.
Begitu pesan singkatku pada Diana di ujung siang hari tadi, saat Diana mencoba menanyakan kabarku lewat pesan singkat. Tak ada balasan darinya. Mungkin Diana sedang mengakumulasi jumlah dana perusahaan yang sedang ia kerjakan. Bukankah itu kebiasaannya hingga tak terganggu oleh apapun. Tetapi jelang Maghrib, ada pesan singkat darinya.
Lepas Isya aku menuju Delta 5.
lalu aku mencoba membalas pesan singkatnya dengan cepat. aku pasti datang kawan, banyak hal yang ingin aku ceritakan"
Rupanya aku terlambat setengah jam, semua itu gara-gara jalan Semampir yang aku lalui sedang macet karena pemuja Tuhan Yesus baru keluar dari tempat sucinya. Diana telah ada di dalam. Kulihat ia sendirian saja. Entah kemana teman-temanya. Biasanya mereka selalu mengikuti kemanapun Diana pergi.
“Apa kabarmu, Di?”
Diana tersenyum dan mengucap terima kasih pada waitress yang mengantarkan pesananku.
“Duduklah. Kabarku baik.”
“Kenapa kau ke Surabaya, Di? Bukannya besok, kamu harus kerja?”
Diana tersenyum sekilas. Ia tahu betul bahwa yang kukatakan tak ada bedanya dengan istilah basa basi.
“Kau tahu kan, Fi, kenapa aku ke sini. Aku hanya ingin menemuimu. Meminta penjelasan atas sms yang kau kirim padaku siang tadi. Oke kalo kamu ingin kujawab pertanyaanmu. Aku baik-baik. Begitu pula kerjaanku. Apa sih susahnya jadi akuntan. Tetapi tenang sajalah, kau tak perlu marah padaku. Aku punya simpenan data anggaran untuk besok kok. Murni hasil kerjaku tadi pagi yang memang sudah aku perhitungkan untuk besok. Kujamin bosku akan senang. Cukup kan? Oke, sekarang kuminta penjelasanmu. Kenapa begitu?”
Aku menghela napas panjang. Kulemparkan pandangan ke luar café. Lalu lintas masih padat. Belum genap pukul delapan malam. Masih kelewat dini bagi Surabaya untuk menutup matanya.
“Malah diam.. Aku nggak habis mikir, Fi. Mana Arfi yang kukenal sebelumnya. Kenapa kau tiba-tiba patah begini? Nggak bisa dikomunikasikankah? Sebegitu ruwetnya? Kau kan peng-agung sharing sesama kawan kan. Tetapi kenapa Begawan sharing dan peng-agung persahabatan itu kini luluh tanpa daya? Berbagilah, Fi….”
Aku belum membuka suara. Sosok yang kini ada di hadapanku itu kelewat susah terbantah. Aku mengenalnya sudah bertahun-tahun. bahkan ia sudah aku anggap keluarga sendiri. Diana lah satu-satunya sahabat yang masih bisa berkomunikasi denganku, walaupun dapat dihitung dengan jariku ini. Kami saling mengenal satu sama lain. Dikenal kompak di kalangan SMP dulu. Arfi dan Diana.
Aku belum mampu mengawali pembicaraan. Terlampau susah. Kuambil gelas hot chocolate sekadar untuk pembasuh kerongkongan. Diana menatapku lekat-lekat. Tangannya terulur kepadaku. Disentuhnya perlahan tanganku.
“Fi, ada apa denganmu?”
Lembut suaranya meluluhkan pertahananku. Aku terisak perlahan.
“Boleh aku menangis, Di?”
Diana mengangguk.
“Menangislah, Fi. Lepaskan bebanmu. Nggak ada yang melarangmu. Menangislah…”
Tak berapa lama usai Diana mengatakan hal itu. Tangisku meledak. Pertahananku jebol. Bahuku terguncang. Diana membiarkannya. Beberapa menit kemudian tangisku reda.
“Sudah nangisnya? Mumpung nggak ada Eko, Febri atau kurniawan di sini. mereka kan yang selalu merasa aneh jika melihat kita, apalagi kamu, menangis. Dikiranya kita nggak bisa nangis. Nggak pantes katanya kan. apalagi melihat ibu wartawan ini nangis sampai kayak gini, hehe..”
Seloroh Diana membuatku sedikit tersenyum. Lalu tanpa henti, aku bercerita tentang hal yang meresahkanku. Tentang faktor yang mendukung hingga kemudian aku memutuskan sesuatu.
“Lalu kamu memilih pergi?”
Suara Diana seolah menggantung di udara. Aku terdiam. Keterdiaman kami luruh bersama deru lalu lintas Surabaya di sekeliling kami.
“Mungkin. Aku nggak ingin terus-terusan menangis dalam situasi yang kukira nggak wajar. Di luar batas kewajaran. Paling luar malahan”
“Tetapi tidak dengan meninggalkannya kan. Bukankah impianmu baru saja dimulai? Dulu, kau bercita-cita mengelola media. Lalu kau menjadikannya keyakinan. Sejak kecil. Kau konsisten untuk mengikuti alur menuju terwujudnya impian itu. Banyak hal dan halangan yang mengikuti langkahmu. Kau nggak mundur.”
Aku masih diam.
“Kini, Fi, semuanya hampir jelas. Semuanya hampir di tangan. Lantas kamu akan memilih pergi. Jangan jadi pecundang bagi diri sendiri begitu…”
“Aku bahkan tidak tahu apa yang mesti kukerjakan. Aku mundur dari pekerjaanku. Aku pergi dari Surabaya. Lalu aku akan mulai kehidupanku yang baru. Di tempat lain, Di. Di tempat yang orang lain belum kenal siapa itu Arfi.”
”Itu berarti kamu akan memulainya dari awal. Kau akan menghapus relasi-relasi yang telah terjalin.”
Aku mengangguk. Perlahan. Air mata kembali turun dari lembah mataku. Tak mampu lagi kutahan.
Diana merangkul bahuku. Segera saja tangisku kembali pecah. Bahuku terguncang.
“Setahuku, sampai hari ini kamu itu perempuan hebat sekaligus kuat yang pernah kukenal. Tak pernah mundur. Sekeras apapun halangan dan tekanan. Kamu akan melawannya. Itu artinya kamu kuat. Menangis itu wajar. Siapapun yang terkena tekanan pasti akan mengekspresikan emosinya dengan caranya sendiri. Dan itu biasa..”
Suara Diana tertata kuat. Ia menatapku lekat-lekat. Aku tahu artinya. Aku paham makna pandangan itu. Pandangan yang penuh kasih sayang.
“Fi, yang tidak biasa adalah kalau menangis dan sadar sampai kapan akan menangis dan kapan akan kembali tertawa. itu yang namanya orang kuat. Dan itulah yang selama ini kuteladani darimu. Kamu selalu optimistis akan tiba waktunya kamu sembuh. Dengan kamu yakin kalo itu soal waktu, artinya kamu sudah menyadari dan bisa memperkirakan sampai kapan sakit itu akan berlangsung. Kalo sudah begitu jelaslah harapan sembuh di depan mata. Jarang orang sakit punya bayangan sembuh sedekat dan sejelas kamu.”
Aku masih belum menyahut.
“Semestinya kamu bahagia, Fi. Hidupmu hampir sempurna. Cita-cita ada di depan mata, pasangan jiwa ada di sebelah raga. Ia datang tepat pada waktunya. Saat jiwamu ingin berlabuh. Lalu kenapa kau melakukan kesalahan yang bodoh. kenapa lelaki itu harus datang saat hidupmu kian sempurna. dan bodohnya lagi kenapa gara-gara laki-laki tak tau diri itu kau rela menutup jalan mulus kesempurnaan hidupmu. semua ada Apa yang kau cari lagi bodoh..?”
"dan sekarang kau baru tau rasa akibat dari hubungan bodohmu dengan lelaki itu!"
aku merasa terdiam. seperti terdakwa yang sedang diadili hakim dan serasa pula dituntut jaksa.
" aku mau tanya, mas mu tau tentang hal ini? " tanya nya lagi.
" ia tidak tau?"
"sungguh lelaki yang sempurna"
"sebenarnya apa alasanmu melakukan semua ini?"
“aku sudah bosan dengan sikap mas ku. Dia seakan-akan tidak memiliki rasa bahwa ia telah mempunyai calon istri, walaupun masih calon..bela ku seakan-akan semua masalah yang ada karena ulah mas ku”
Aku kembali nyerocos hingga tak tau kalau Diana ganti yang diam dan seakan-akan ia berposisi sebagai terdakwa.
Aku menghela napas panjang. Dan mlanjutkan pembelaanku.
“Tadi sore Masku sms, masih bilang kalo kangen. Ia bilang sibuk hingga beberapa hari ke depan. Ia minta doaku agar ia bisa melewati semuanya dengan sukses. Kujawab tentu aku akan selalu mendoakanmu. Tetapi apa sibuk banget itu berarti kita nggak bisa – nggak boleh – untuk menghubungi satu sama lain. Setelah itu aku tertidur, lelah luar biasa… jam setengah 12 an aku lihat ada sms darinya… Begini bunyinya, ya kalo jarang iya. Maaf saya harus fokus dengan kerjaanku. Kamu tahu kan dek, sebentar lagi akn kenaikan jabatan, aku mohon kamu ngerti posisiku, slm.”
Diana menatapku begitu rupa. Ia memahami posisiku. Aku melanjutkan ceritaku. Aku merasa itu kalimat yang aneh. .. tapi aku terpukul sekali, Ya. Aku nggak mungkin menghubunginya. Aku yakin itu. Apa yang terjadi ? Aku belum tahu sesungguhnya. Aku tidak mengerti. Mungkin ada hal yang membuatnya demikian terpukul. Entah apa. Aku ingat betapa matanya berpijar saat memandangku, tanda betapa ia menyayangi aku. Aku selalu menangkap senyum manis terukir di bibirnya setiap kali memandangku. Aku tahu makna senyum itu. Ia mencintai aku. Aku juga merasakan betapa ia membutuhkan demikian pula sedemikian butuhnya aku bersandar di bahunya. Ia tak keberatan mengajariku tiap detik bagaimana menyayangi seseorang. Ia tahu aku sempat terpuruk karena dilema dengan profesi yang memaksaku untuk tidak mengurusi keluarga dimasa depanku nantinya, tapi itu sudah berlalu. Ia tahu bahwa aku mesti tertatih, belajar menyayangi seseorang, dan juga belajar menjadi seorang wanita yang tau kodrat, tidak menjadi wanita duniawi dengan selalu memikirkan karirku. Aku ingin belajar. Tentu dengan mendendangkan harapan pada setiap langkah.
“Tetapi, Di,” kembali lagi aku menjelakan suatu hal pada Diana. Tapi tiba-tiba saja terpotong oleh sekatan Diana seraya membentakku.
“Tapi Ternyata harapan itu pupus kan. Mas Bani mu datang seakan –akan sebagai pahlawan yang mencoba menggantikan posisi mas mu. Tapi lambat laun ternyata ia malah menghancurkanmu”
“Aku lelah, Di. Aku lelah sekali.”
“Fi, apa kau sudah terlanjur jatuh cinta dengan Bani busuk itu?” dan apakah kau sudah tidak setia dengan mas mu?”
Perkataan Diana terus terngiang-ngiang dalam telingaku.
“Kau diam artinya Iya”
“tapi untung saja ia sudah mengecewakanmu, dengan berkedok sebagai lajang berperawakan sholeh. Cuihh..palsu!”ternyata sudah beristri. Tapi kenapa temanku satu ini yang dari dulu terkenal jeli, pintar, dan paling top diantara yang lain kena jebak ya..aku semakin heran..”
“ Sudah lah Di, kalau kau semakin mengungkitnya aku akan pergi sekarang juga, kataku emosi.”
Dasar busuk, Diana tak mau mengerti juga apa yang aku inginkan. Dia terus saja nyerocos.
“ berapa orang yang sudah kau kirim undangan?”
setan apa yang mempengaruhiku hingga aku menjawab apa yang dilontarkan oleh Diana.
‘ ada sekitar 125 orang. Itupun hanya orang Media saja. “
Mas Mu tau?
“Belum”
“Bodoh!”
“maksudmu?”
“Iya, kesalahanmu sudah parah, mau tunangan denga orang lain padahal sudah punya pasangan, mending kalau tunangannya itu jelas, lha wong sudah punya istri,”
tangis ku lagi, mungkin ini adalah tangisan yang paling kencang selama hidupku. Aku tak peduli orang-orang yang sedang menikmati nasi goreng dan Es Jus terganggu dengan tangisanku. Bukan meminta empati dari mereka tapi setidaknya dengan tangisan itu aku sedikit lega.
“Aku malu Di, aku sudah capek dipermainkan,kenapa Di, karirku bagus, cita-citaku tercapai, tapi mengenai hati, aku kalah, kenapa Di”
“itu karena kau manusia, kalau semua kelebihan kau punya, itu ga Fair namanya non, terus yang lain dapet kekurangan saja dong”
tiba-tiba semuanya luluh begitu saja karena guyonan Diana yang terasa memaksa. Tapi setidaknya aku bisa menghapus air mata ini untuk sesaat.
“Apa rencana mu?”
Perkataan Diana menggantung di udara. Aku tak lagi mendengarnya. Kulanjutkan perkataanku.
Tetapi, Fi… Bukan lantas keluar kerja. Bukan dengan meninggalkan semuanya kan ya… ”
“Ya, Di, aku akan keluar kerja. Seterusnya. Pergi dari perusahaan ini. Terlalu rumit persoalan yang kuhadapi. Pergi dari Surabaya. Mungkin esok aku akan pamit ke Pimpinan redaksi dan Direktur eksekutif perusahaanku. Sekuat tenaga aku akan deal-kan proyek lain tentunya didaerah yang sangat jauh. Dibantu dengan rekan kerjaku yangbaru jugab tentunya. Aku ingin menebus semuanya.”
Diana menghela napas lalu menghempaskannya kuat-kuat.
“Yah, Di. Akhir minggu ini, aku akan pergi dari Surabaya. Ganti nomor ponsel. Aku akan melupakan semuanya. Aku akan memulai kehidupan yang baru. Jauh di sana. Di tempat yang tidak ada yang mengenalku. Berat memang tanpa Mas ku di sampingku, Tetapi aku harus bisa. Sama dengan saat aku memasuki Surabaya empat tahun lalu.”
“Kau mau bilang apa dengan mas mu? Saat ini mas mu kertas putih tapi dalam kondisi buta. Ia tak tau kau sedang memberikan warna kertas hidupnya dengan warna apa? Dan itu menguntungkanmu”
“Pecundang yah, Di. Biarlah. Semua orang yang mengenalku bisa dipastikan tak akan habis pikir dengan apa yang kuputuskan. Engkau juga mungkin. Biarlah. Aku kalah kali ini. Kalau ada yang bilang aku tak kenal kalah, mungkin saat ini ia kecewa. Kecewa dengan keputusan yang kuambil. Apalagi kau dan relasi kerjaku lainnya, kalian juga mungkin tak putus mengerti”
“Yah, Di. Aku yakin suatu ketika perusahaan itu akan menjadi besar. Aku akan melihatnya dari jauh. Aku sangat berharap komitmen teman-teman akan selalu menjaga itu ya. Hingga bisa mengawal dan mendukung perusahaan sampai mencapai saat itu. Begitupun juga dengan Mas Gilang, dari jauh aku pasti mendoakanya. Aku akan melihatnya dari jauh. Seyogyanya aku berterima kasih pada mereka semuanya.”
Diana menghela napas. Ia sudah kehabisan kata untuk menghalangi kepergianku. Hingga kemudian ia memilih diam. Hingga kemudian kami berpisah.
“Ya sudahlah kalau kemudian itu yang kamu pilih. Aku tahu kamu paham yang terbaik buatmu sendiri. Pergilah, Fi. Yang jelas aku berpikir bahwa seyogyanya mas mu bersyukur memilikimu. Dan tidak akan menyia-nyiakanmu.” Relannya sembari mencoba sekali lagi menghalangiku pergi, walaupun semua itu sudah tak berarti lagi buatku.
Aku menghela napas panjang. Mengingat perkataanku Diana padaku. Jarum jam dinding menunjuk pada tujuh pagi. Pukul tujuh lewat sedikit. Genap semalam aku tak tidur. Entah kenapa aku lega hari ini. Aku tetap matahari yang selalu akan menyimpan cintanya buat sang bintang. Sampai kapan pun itu. Aku juga tidak akan menyesal melakukannya. Menjaga cinta itu. Biarlah. Satu saat aku yakin ia akan menyadari betapa sayang aku padanya. Kuambil ponselku. Kukirim pesan untuk Diana.
Allah menunjukkan jalan ini. Entah sebesar juga seindah anugerah yang tengah dipersiapkan-Nya padaku hingga aku didera seperti ini. Pastinya ada anugerah terindah setelah ini. Doakan ya, Di.
Terbesit dibenakku sesaat itu, langsung sebuah pesan terakhir untuk mas Gilang kau kirim.
Aku selalu mendoakan kamu hingga seluruh keinginanmu terwujud, tapi sayang hanya dari jauh. Tapi speerti yang sudah-sudah, pesan terakhir dari aku itu pun dijawab datar oleh dia.
Ngobrolnya nanti aja yah, aku masih sibuk banget. Slm.
Pesan itu Semakin menguatkan langkahku.
Dan beberapa detik hand phone ku bunyi. Aku tersadar kalau aku baru bangun dari mimpi ku. Dan……………….Gara-gara mimpi itu. Aku tersadar pula kalau aku………. telat kuliah.ahaahah….. Gawat…!!!!!!
Monday, 28 January 2008
GAWAT...!!!!!!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment